Mengapa Warganet Kita Gemar Meributkan Selebritas yang Pindah Agama - tirto.id

D...

Di luar cara memandang agama sebagai kepentingan publik (alih-alih privat) pemberitaan media yang masif juga “menggarami” serta mengawetkan perilaku itu.

tirto.id - Kebebasan menganut agama atau keyakinan adalah hak setiap warga negara Indonesia. Tak terkecuali untuk selebgram Salmafina Sunan.

Publik mengenalnya sekitar dua tahun lalu. Saat itu ia mengubah gaya hidup khas pengunjung kelab malam menjadi perempuan dengan penampilan serba-syar’i. Salma, yang telah berjilbab lebar, kemudian dipinang oleh hafiz Al Qur’an asal Banjarmasin bernama Taqy Malik. Usia Salma kala itu baru 18 tahun dan Taqy 20 tahun.

Rumah tangga keduanya berlangsung singkat. Salma-Taqy menikah pada 16 September 2017. Pada 21 Februari 2018 keduanya bercerai di pengadilan agama Jakarta Barat. Pernikahan mereka hanya bertahan selama empat bulan, di mana satu bulan dihabiskan untuk proses cerai.

Dunia maya kembali heboh saat Salmafina memutuskan untuk melepas jilbab. Hal ini dianggap warganet bertentangan dengan masa-masa sebelum menikahi Taqy, ketika Salma dianggap sebagai representasi pelaku “hijrah”.

Beberapa hari terakhir sorotan publik kian mengencang: ada rumor Salma pindah agama dari Islam ke Kristen.

Warganet mula-mula meributkan kalung bentuk simbol salib yang Salma kenakan. Lalu soal Salma yang terlihat mengunjungi gereja. Ayah Salma, Sunan Kalijaga, sempat menepisnya. Tapi berbagai spekulasi terlanjur bergulir. Banjir komentar menghiasi berbagai unggahan mengenai Salmafina di media sosial.

Fenomena ini menunjukkan betapa gemarnya warganet menanggapi kabar pergantian agama yang dijajaki oleh pesohor.

Jika dirunut hingga sepuluh tahun terakhir, nama-nama pesohornya merentang mulai dari pembawa acara, aktor, hingga vokalis band. Deddy Corbuzier, contohnya, mendapat respons hampir sejenis saat pertengahan Juni lalu mengucap dua kalimat syahadat.

Deddy dibimbing oleh Gus Miftah Maulana, ulama sekaligus sahabat Deddy, di pondok pesantren Ora Aji, Yogyakarta. Berbagai spekulasi mencuat. Antara lain tuduhan Deddy mengganti agama karena ingin menikahi seorang perempuan muslim. Pria yang dikenal sebagai ilusionis itu membantahnya.

Demikian juga saat atlet wushu Lindswell Kwok berpindah dari Buddha ke Islam, Lukman Sardi memutuskan untuk memeluk Kristen, Chelsea Islan berganti dari pemeluk Protestan ke Katolik, dan vokalis band Saint Loco menanggalkan gaya hidup rock n roll demi memuluskan hijrah.


Sebagian memang ada yang berpikiran positif serta memberikan komentar yang bijak. Tapi banyak juga yang menyayangkan keputusan si pesohor, melempar gosip liar yang bernada negatif, menghujat, atau memancing debat kusir perihal kebenaran agama lama dan baru yang dianut si pesohor.

Sosiolog UNY Amika Wardhana melihatnya dalam kacamata perbedaan antara masyarakat di Barat dan Asia dalam memandang agama. Di Eropa atau Amerika Serikat, agama dipandang sebagai sesuatu yang privat atau untuk konsumsi pribadi semata.

Di Indonesia sebaliknya: agama adalah urusan publik.

Lebih lanjut, komunitas-komunitas masyarakat di Asia pada umumnya memiliki tradisi kolektif yang cenderung mementingkan keseragaman dalam berbagai aspek, termasuk keyakinan. Salah satu embrio peradaban di Indonesia juga persinggungan antar-agama—yang kadang terlihat seperti kompetisi.

“Jadi, ketika orang yang berpindah agama, dia dianggap punya andil dalam merongrong, merusak, dan menggerus kohesivitas (ikatan) dalam komunitas agama yang ditanggalkannya. Itu mengapa urusan pindah agama jadi pusat perhatian,” katanya dalam sambungan telepon, Selasa (16/7/2019).

Amika menyinggung teori gemeinschaft yang digagas sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies. Padanan dalam bahasa Indonesianya ialah paguyuban. Definisinya adalah kelompok sosial yang anggotanya menjalin hubungan erat, intim dan eksklusif atas dasar ikatan darah, tempat, maupun ideologis.

Dalam masyarakat tipe gemeinschaft, kesamaan keyakinan kerap dipandang sebagai hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Konsekuensinya, saat salah satu anggotanya berpindah keyakinan, muncul kekhawatiran anggota lain akan melakukan hal yang sama.

“Apalagi jika yang bersangkutan terkenal dan punya pengaruh di masyarakat,” imbuhnya.


Polemik tentang agama sebagai urusan privat dan publik telah menjadi diskursus klasik di Indonesia. Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo, Abid Rohmanu, pernah mengulasnya di kanal Geotimes. Tajuknya "Menyoal Nalar Privat dan Nalar Publik di Keberagamaan Kita".

Ruang publik di Indonesia kontemporer Abid nilai penuh oleh isu SARA, terutama isu agama. Hasilnya adalah kerancuan nalar privat dan nalar publik dalam memandang agama di masyarakat, sehingga agama sering menjadi titik sumbu kegaduhan.

Abid menyinggung tuduhan pemisahan sektor peran privat dan publik agama sebagai pemikiran sekuler yang akan menghinakan agama itu sendiri. Ujung-ujungnya muncul kekhawatiran bahwa agama akan kehilangan peran dan fungsinya di masyarakat.

“Pada sisi lain, ketika agama diperankan juga pada sektor publik dengan karakternya yang plural, maka peran tersebut memancing perselisihan dan perpecahan,” tulisnya.

Abid melanjutkan keyakinan yang bersifat privat pada dasarnya terbatas pada skala individual atau komunitas keagamaan tertentu. Ketika nalar privat dipaksakan hadir di ruang publik, hasilnya adalah resistensi satu komunitas agama terhadap agama lain—terutama dalam konteks mayoritas-minoritas.

Amika tidak terlalu mengkhawatirkannya, mengingat sorotan dalam pemberitaan media menyangkut satu-dua orang saja. Fenomena sosialnya bukan pada pelaku pindah agama, tapi bagaimana publik merespons keputusan si pelaku.

“Apakah mendorong orang untuk turut mengubah keyakinannya, saya belum tahu soal itu. Fenomena ini pada dasarnya hanya untuk konsumsi berdebat saja. Untuk diskusi. Sepertinya belum mengarah ke tindakan.”


Perbedaan yang signifikan Amika ceritakan pernah terjadi di Salatiga selama huru-hara tahun 1965. Mengingat golongan komunis distereotipkan sebagai orang yang tidak beragama, terjadi perpindahan keyakinan secara massal untuk menghindari persekusi.

Menariknya, karena umat Islam saat itu sedang garang-garangnya dalam membasmi orang-orang komunis, para warga akhirnya berpindah keyakinan ke Kristen atau Katolik. Fenomena itu sukses mengubah wajah populasi umat beragama di Salatiga hingga hari ini.

Amika kemudian menggaris bawahi beberapa faktor lain mengapa warganet Indonesia gemar mengurusi keyakinan para pesohor.

Infografik Pesohor pindah keyakinan. tirto.id/Fuadi

Pertama, masyarakat Indonesia memang kian terpapar modernitas, rasionalitas, sehingga kini lebih aman dan sejahtera. Efek yang terjadi di negara lain adalah karakter masyarakatnya menjadi lebih tidak religius. Di Indonesia, kondisinya istimewa, sebab masyarakat justru makin religius.

Sosiolog Monash University Australia, Ariel Heryanto, sempat menyinggung isu ini dalam bukunya yang berjudul Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia (2015).

Menurut Ariel agama tetap bugar di kawasan yang menjadi modern, termasuk Indonesia. Agama dan kapitalisme, baginya, bukan hanya dapat hidup berdampingan dan memiliki keterkaitan.

“Keduanya bahkan dalam beberapa kasus bisa bersekutu hingga mampu mendukung kegiatan-kegiatan koletif jangka panjangnya.”

Amika menilai dalam kerangka economic-religion, di mana para subjek dalam negara berkembang mampu menjegal proses sekularisasi lewat berbagai cara. Mereka adalah ulama, penceramah televisi, dan otoritas keagamaan lain yang bersemangat menarik orang-orang ke gaya hidupnya.

“Tawaran mereka menarik banyak orang, termasuk dari kalangan kelas menangah yang berpendidikan tinggi dan ekonomi mapan itu. Mereka tidak menjadi sekuler, tapi justru agamis. Dampaknya, agama semakin lazim dipandang sebagai urusan publik.”

Apalagi Indonesia sebenarnya bukan negara sekular, kata Amika, baik segi penafsiran ideologi maupun kehadiran Kementerian Agama. Meski ada yang meyakini perspektif agama itu urusan privat, jumlahnya relatif lebih sedikit.


Faktor penyebab selanjutnya, yang tidak kalah penting, adalah kehadiran media yang amat rajin menguliti kabar pergantian keyakinan para pesohor hingga ke akar-akarnya. Sebagian warganet rupanya menyadari hal ini dan menyampaikan kritiknya melalui Twitter.

Mereka membagikan berita-berita media online dengan tajuk menyudutkan seperti "Usai Ibadah di Gereja, Salmafina Kabur" (berita Detik.com, ditautkan @permadiaktivis), atau"Terciduk Ibadah di Gereja, Salmafina Sunan Lari Tunggang Langgang" (berita Suara.com, ditautkan oleh @kenndaru).

Barangkali pihak yang bertanggung jawab terhadap konten menyadari polemik tersebut, sehingga tajuk berita diubah menjadi "Salmafina Masih Tak Mau Komentar" (Detik.com) dan "Ibadah di Gereja, Salmafina Sunan Hindari Awak Media" (Suara.com).

Terkadang Amika mencurigai para pesohor sengaja memanfaatkan kabar kepindahan agama untuk meningkatkan popularitas. Tapi ia juga memahami bagaimana pemberitaan masif berdampak pada awetnya keributan terkait isu pindah agama.

“Media dan medsos itu ibarat menggarami keributan yang sudah ada. Omongan tingkat RT jadi tingkat nasional. Orang terus berkomentar kan karena disuguhi beritanya, digoreng terus-menerus.”

Mengapa Warganet Kita Gemar Meributkan Selebritas yang Pindah Agama - tirto.idMengapa Warganet Kita Gemar Meributkan Selebritas yang Pindah Agama - tirto.idMengapa Warganet Kita Gemar Meributkan Selebritas yang Pindah Agama - tirto.idInfografik Pesohor pindah keyakinanimageimageimageimageimageimageimageimageimageimageimageimageimageimage

Halaman Selanjutnya . . . .

Advertisement iklan