Jakarta — Sejumlah netizen atau warganet menyampaikan keberatan dengan metode pembayaran parkir yang hanya bisa dilakukan menggunakan aplikasi OVO di banyak pusat perbelanjaan di Jakarta dan beberapa daerah lainnya.
Sementara, sehari sebelumnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyoroti strategi bisnis OVO, yang terindikasi mengandung praktik bisnis yang kurang sehat.
Dilansir dari laman resmi OVO, setidaknya sudah ada 61 Mall dan Area Ruko di Indonesia yang memanfaatkan layanan pembayaran ini untuk parkir.
Keluhan monopoli parkir ini mulai dikeluhkan warga net Surabaya @jatmika_com dalam postingannya.
” Mau ngeshare ini kemarin, dimana pembayaran parkir di CITO cuma bisa pakai ovo, atau antri bayar manual yang lumayan panjangnya karena cuma satu counter. E-Money gak bisa dipakai juga karena cuman bisa OVO. Lak amsyong…,” tulisnya.
Kemudian akun @gucayyy mengeluhkan kewajiban parkir menggunakan OVO di salah satu mall di Medan.
“True nih, mall di Medan itu banyak punya Lippo, otomatis parkir bayar pake OVO, terus minimal isinya juga 50k di stand mereka, ga mungkin dong sisa 47k sisa parkir tadi ga di pake buat Belanja,” keluhnya.
Bahkan salah satu akun @niggehh sempat ‘tersandera’ di dalam gedung parkiran.
“@ovo_id saya tidak bisa keluar parkir, harus bayar pakai ovo, aplikasi tidak bisa login, lapor call center disuruh tunggu 1×24 jam,” keluhnya.
Warga net asal Yogyakarta @putrilydia juga mengeluhkan proses pembayaran parkir yang belum tersistem dengan baik.
“Banget, di Lippo Plaza Jogja juga pakai sistem gini. Tapi ntah kenapa di Pejaten Village belom matang tapi dipaksain jalan, jadi berantakan. Sinyal di Mall juga jelek, jadi kadang ovo gabisa dipake. Petugasnya booth parkir dalam mall jg ga standby. Seriously? Pikir lagi deh,” ujarnya dengan keluhan yang sama.
Mengenai hal ini, Head of PR OVO, Sinta Setyaningsih saat dikonfirmasi mengatakan, OVO memberikan keleluasaan bagi berbagai pihak dengan visi yang sama.
Menurut Sinta, OVO sangat mendorong ekosistem pembayaran yang kolaboratif dan inklusif untuk mendukung perkembangan ekonomi digital.
“Kami siap untuk berdiskusi dengan pemangku kepentingan, untuk meningkatkan kontribusi OVO bagi ekonomi Indonesia. Sebagai platform pembayaran digital dengan strategi ekosistem terbuka, OVO terus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dengan visi yang sama, yaitu untuk mengedukasi masyarakat akan berbagai kelebihan transaksi non tunai,” sebutnya.
Sementara, pengamat Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Ardito Bhinadi menilai unsur monopoli alat bayar bisa merugikan masyarakat atau konsumen karena harus memiliki uang elektronik tertentu untuk bisa parkir.
“Saya pikir ini mungkin bagian dari strategi bisnis agar bisa memiliki pangsa pasar yang semakin besar. Menjadi besar boleh, namun tidak boleh dengan cara-cara atau praktek perilaku persaingan usaha yang tidak sehat, melalui monopoli misalnya,” tandasnya.
Untuk menjalankan praktik bisnis yang sehat, Ardito menyebutkan, Indonesia membutuhkan lembaga pengawasan pasar yang kuat. KPPU menurut dia, harus terus memperkuat dan meningkatkan kapasitasnya agar bisa bergerak cepat dan tepat dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas persaingan usaha.
Jika strategi harus menggunakan emoney tertentu ditiru oleh mall atau tempat lain, lanjut Ardito, maka masyarakat bakal makin direpotkan.
Konsumen akan diwajibkan memiliki banyak uang elektronik agar bisa melakukan aktivitas dengan lancar.
“Masuk Mall A dengan kartu X, Mall B dengan kartu Y, Mall C harus dengan kartu Z. Bayangkan jika ditiru di tol. Tol Cikampek pakai kartu A, Tol Jagorawi harus pakai kartu B, Tol Soker pakai kartu C. Beri masyarakat pilihan. Jangan dipaksa memilih. Jika ingin dipilih, lakukan persaingan usaha yaang sehat, misalnya berlomba memberikan layanan yang lebih baik dan insentif yang menarik agar jadi pilihan alat pembayaran masyarakat,” sebutnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi asal Medan Gunawan Benyamin menyebutkan tidak wajar jika satu pusat perbelanjaan menggunakan hanya satu metode pembayaran elektronik.
Sebab, masyarakat seharusnya memiliki banyak pilihan pembayaran yang bisa digunakan.
Menurut Gunawan, perlu dipertanyakan jika satu pusat perbelanjaan hanya menyediakan metode pembayaran dari satu perusahaan saja.
“Kalau melihat dari prakteknya ya tidak wajar. Saya melihat masih ada pusat-pusat perbelanjaan modern yang menggunakan metode pembayaran yang beragam. Kalau cuma satu ya harus dipertanyakan kok cuma satu? Padahal masyarakat juga punya banyak pilihan dong. Alfamart sama Indomaret aja gunakan banyak pilihan,” katanya, Rabu (17/7/2019) kemarin.
Sebelumnya komisioner sekaligus juru bicara KPPU, Guntur S Saragih, menyebutkan pihaknya melihat adanya indikasi praktik bisnis yang kurang sehat dilakukan oleh platform pembayaran OVO.
Menurut dia, jika ada alasan pembayaran merupakan bagian dari ekosistem platform digital, hal ini tak bisa dibenarkan.
“Konsumen tetap memiliki ruang untuk memilih penyedia jasa,” katanya.
Sebab pusat perbelanjaan merupakan tempat yang terbuka untuk umum. Bukan tempat yang hanya boleh didatangi pihak terbatas.
“Pusat perbelanjaan itu jatuhnya publik,” tutupnya.
(***/Sri)