Wacana rekonsiliasi makin menguat usai Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusannya mengenai sengketa Pilpres tahun 2019. Lembaga ini memutuskan menolak seluruh gugatan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kemudian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengukuhkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.
Usai putusan MK dibacakan, Prabowo berpidato di kediamannya pada Kamis, 27 Juni 2019. Ia menyatakan menerima dan menghormati putusan MK tersebut. Langkah ini tentu saja perlu diapresiasi sebagai bentuklegawa atas keputusan tersebut.
Rekonsiliasi terus menjadi perbincangan di media sosial. Hasil penelusuran di media sosial, untuk periode 27 Juni – 3 Juli pukul 02.00 Wib, percakapan tentang rekonsiliasi masih didominasi sentimen positif, sebesar 48,59 persen. Sementara itu, untuk sentimen negatif sebesar 10,63 persen dan 40,78 persen netral.
Itu artinya, warganet menginginkan rekonsiliasi benar-benar terjadi. Konflik yang dibumbuhi dengan perpecahan akibat Pilpres 2019 sudah harus disudahi. Setelah kompetisi yang nyaris brutal selama setahun terakhir ini, warganet menginginkan kehidupan kembali normal.
Percakapan di media sosial dengan menyebut rekonsiliasi selama periode tersebut paling banyak terjadi pada tanggal 1 Juli 2019. Sementara jumlah total orang yang melihat percakapan di media sosial (social media reach) tentang rekonsiliasi paling banyak terjadi pada tanggal 30 Juni 2019.
Apa yang terjadi pada tanggal itu sehingga warganet lebih banyak membicarakan rekonsiliasi?. Di antaranya, Sandiaga Uno melalui video yang diupload di instagramnya @sandiuno pada Minggu, 30 Juni 2019, juga ikut memberikan tanggapan mengenai hasil putusan MK atas sidang sengketa Pilpres 2019 dan penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh KPU. Salah satu yang disampaikannya ialah memberikan ucapan selamat untuk pesaingnya, yakni Jokowi-Amin.
Baca juga : Kiai dan Tradisi Rekonsiliasi
Dalam pemberitaan salah satu media tanggal 1 Juli 2019, Sandi menyebut Prabowo tengah bersiap untuk rekonsiliasi dengan Jokowi. Ia juga menyebut komunikasi tentang rekonsiliasi akan dilakukan lewat satu pintu, yaitu langsung antara Prabowo dan Jokowi tanpa perantara pihak manapun.
Itu tentu menjadi angin segar upaya rekonsiliasi para pihak usai gelaran memilih pemimpin nasional. Rekonsiliasi elit ini juga diharapkan bisa disertai rekonsiliasi warganet.
Berbagai pakar telah mendefinisikan rekonsiliasi. Namun, menurut saya, ada satu skema rekonsiliasi yang terdiri dari dua konsep. Dua konsep itu yaitu forgetting (melupakan) dan forgiving (memaafkan).
Pertama, rekonsiliasi yang dilakukan ialah memaafkan dan melupakan. Tak bisa dipungkiri bahwa Pilpres 2019 juga memiliki kekurangan. Apalagi, baru kali ini dalam sejarah demokrasi Indonesia, Pilpres dan Pileg 2019 dilaksanakan secara serentak, yang tentu menghabiskan effort yang besar.
Kabar hoaks pun marak menyerang kedua kubu dan pemerintah. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia menemukan, jumlah kabar hoaks yang memenuhi media sosial meningkat sebanyak 61% antara Desember 2018 dan Januari 2019. Sebanyak 109 hoaks yang beredar pada Januari 2019, dari angka itu ada 58 buah temanya Pilpres 2019. Rinciannya, yang membidik Prabowo-Sandi 36,20 persen, sedangkan Jokowi-Amin 32,75 persen, dan sekitar 13,79 persen menyerang pemerintah.
Kedua, memaafkan tetapi tidak melupakan. Serang-menyerang kedua kubu pendukung Capres-Cawapres di media sosial tak terhindarkan. Cebong kampret menjadi sasaran penyebaran berbagai konten politik. Sebab, di era digital, setiap pendukung memiliki kemampuan membuat konten politik untuk propaganda yang disebar di media sosial.
David Patrikarakos dalam bukunya “War in 140 Characters: How Social Media Has Transformed the Nature of Conflict” menegaskan, kemampuan media sosial bisa menjadikan orang biasa memiliki kekuatan untuk mengubah arah medan perang fisik dan narasi wacana di sekitarnya. Menurutnya lagi, media sosial telah memberkahi setiap orang dengan dua kemampuan penting: memproduksi konten dan membentuk jaringan hingga skala transnasional.
Tak heran, selama Pilpres 2019 muncul banyak agen politik baru yang memiliki kekuatan pengaruh hampir setara dengan media mainstream. Mereka memiliki sejumlah peralatan produksi konten yang mumpuni. Jumlah follower akun media sosial mereka juga terbilang banyak. Sekali mereka posting di akunnya tersebut, ribuan orang menonton, dan menyebarkannya.
Ketiga, tidak melupakan peristiwanya tetapi tidak memaafkan pelakunya. Skema rekonsiliasi keempat, tidak melupakan peristiwanya dan tidak pula pelakunya dimaafkan.
Ilmuwan politik Gabriel Almond pernah mengatakan, sebuah negara yang berhasil sistem demokrasinya, salah satunya karena keberadaan kultur demokrasi yang baik. Kultur demokrasi dalam hal ini tentu termasuk sikap warganet dalam proses demokrasi itu sendiri. Apalagi, media sosial juga bisa mempertemukan mereka yang memiliki kepentingan sama sehingga konten yang awalnya terserak menjadi satu gerakan kolektif.
Hajatan nasional lima tahunan itu telah usai. Skema rekonsiliasi pertama dan kedua bisa warganet lakukan. Perang politik di media sosial seputar Pilpres 2019 saatnya disudahi. Banyak agenda penting dan produktif ke depan yang harus warganet kawal dan viralkan.
Selamat untuk Presiden terpilih (lagi) Jokowi dan Wakil Presiden terpilih Ma’ruf Amin. Selamat menunaikan janji-janji politiknya. Warganet bisa berkolaborasi dan berkontribusi positif untuk kemajuan bangsa Indonesia. Warganet juga akan terus mengawasinya. Jika melenceng, warganet siap untuk mengkritisinya. Siap?