Oleh
Oleh M Ghufran H Kordi K
Pengamat Sosial
Kekerasan terhadap anak dan perempuan mayoritas dilakukan oleh orang-orang terdekat dan mengenal korban, seperti orangtua, suami, keluarga, guru, teman, pacar, dan atasan Korban kekerasan umumnya mempunyai posisi yang tidak seimbang dengan pelaku, subordinat, dan bergantung
Ketika pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang dewasa, maka tidak sulit menjelaskan, sekaligus memproses pelaku Namun, jika pelaku kekerasan adalah anak, persoalan menjadi sangat rumit Pasalnya, masyarakat umum pun pasti meminta pelaku segera dihukum dengan berbagai alasan, yang sebagiannya berlebihan
Kasus Audrey
Kemarahan masyarakat sangat berasalan, namun menumpahkan kemarahan kepada anak yang menjadi pelaku kekerasan, bukan hanya tidak fair, tetapi juga tidak bertanggungjawab Dalam perspektif hak dan perlindungan anak, anak yang menjadi pelaku kekerasan atau melanggar hukum adalah pelaku sekaligus korban
Demikian pula anak yang menjadi korban kekerasan atau tindak pidana lainnya Bisa jadi karena lolos dan pengawasan dan perlindungan orangtua, orang-orang di sekitarnya, atau negara Atau lingkungan dimana anak tumbuh dan berkembang memungkinkannya menjadi korban
Dalam sistem peradilan anak, anak yang melanggar hukum atau menjadi pelaku, korban, dan saksi disebut sebagai anak berhadapan dengan hukum Dalam instrumen hukum ditegaskan bahwa, anak yang berhadapan hukum harus dilindungi, dihindarkan dari publikasi identitasnya, sedangkan pelaku diajukan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum
Proses peradialan anak juga memungkinkan dilakukan Diversi atau pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, terutama untuk tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 7 tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat (2) UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)
Sistem peradilan anak mempunyai mekanisme sendiri yang berbeda dengan peradilan untuk orang dewasa Jika memungkinkan, anak harus dihindarkan dari proses peradilan formal, karena sistem peradilan yang ada dibuat untuk orang dewasa, bukan untuk anak Proses peradilan membuat anak berada dalam tekanan dan stres, tidak hanya pelaku, tetapi juga korban dan saksi
Saat ini, sebagaimana kasus Audrey (14 tahun), peradilan tidak hanya di dunia nyata, tetapi di dunia maya Audrey dan pelaku, yang seharusnya tidak boleh dipublikasi identitasnya, menjadi sesuatu yang biasa saja di media sosial (medsos) Informasi di medos sangat berlebihan, disertai dengan cacian dan ancaman terhadap pelaku Netizen (warganet) juga telah menentukan hukuman, bukan hanya karena tidak mempunyai pengetahuan dan perspektif mengenai hak dan perlindungan anak, tetapi juga karena hanya mengadalkan emosi, kemarahan, dan jari Sebagian netizen sekadar menjadi manusia berjari
Lingkungan Sosialnya
Peradilan anak harus menghindarkan anak dari proses berkepanjangan dan harus menghindarikan anak dari hukuman yang merendahkan martabat manusia, hukuman yang kejam, pemenjaraan, hukuman seumur hidup, dan hukuman mati Karena semua bentuk hukuman tersebut tidak membuat anak menjadi baik Penjara tidak pernah membuat anak menjadi baik, tetapi menjadi penjahat kambuhan Penjara bagi anak adalah sekolah untuk menjadi penjahat profesional